Pengarang : Emilya Kusnadi, Orintha Lee, Ayu Rianna
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah hal : 312
Genre : Metropop
Erin dan teater boneka Poppenkast, adalah dua hal yang tak terpisahkan. Di tangan Erin lah, nasib dari teater boneka ini dipertaruhkan. Bagaimana tidak, teater ini adalah peninggalan almarhum kakeknya tercinta.Dan karena ayahnya yang kemudian melanjutkan kelangsungan hidup teater ini sudah sepuh dan memutuskan untuk menetap di Jogja, maka Erin sebagai putra satu- satunya, suka atau tidak suka menjadi pewarisnya.Sayangnya, jika di masa lalu teater ini pernah sangat sangat terkenal, dengan jumlah pengunjung yang selalu memenuhi gedung pertunjukan, keadaannya berubah 360 derajat saat ini.Kondisi gedung yang semakin tua, jumlah pengunjung yang berkurang dari hari kehari, minat anak- anak yang makin menurun( gadget dan sarana hiburan modern tentu lebih disukai), membuat teater boneka ini hidup segan mati tak hendak.Tapi demi kecintaannya pada warisan alm kakeknya juga para staf yang sudah seperti keluarga, Erin pantang menyerah. Walau itu berarti, harus bekerja sambilan di tempat kursus Bahasa Inggris, jadi kontributor lepas untuk majalah anak- anak, bahkan memberi les di waktu- waktu luangnya( halaman 17)
Sayangnya usaha kerasnya itu malahan tidak dihargai oleh orang terdekatnya, Robert, Pacarnya 5 tahun terakhir ini, bahkan menganggap apa yang dilakukannya dengan Teater boneka adalah sebuah kesia- siaan belaka. Sesuatu yang tidak realistis, katanya. Dan itu diekspresikannya dengan semakin jarang berkunjung. Bahkan di hari ulang tahun teater itu pun, Robert benar benar lupa dan malahan menghadiri acara temannya.Erin tahu Robert sibuk, Ia mengerti akan hal itu.Ia mencoba mengerti. Tapi melupakan hari spesial buat Erin? Harusnya Robert tahu bahwa teater boneka berarti banyak untuknya.( halaman 27).
Pada suatu kesempatan, Erin penasaran dengan seorang penonton dewasa, yang baru pertama kalinya datang ke pertunjukan Teater Boneka itu. Dia kelihatan betul menikmati pertunjukan, bahkan belum juga beranjak pergi saat pertunjukan telah selesai. Sehingga Erin terpaksa menegurnya. Setelah tahu bahwa Erinlah pemilik teater itu, Awan, nama lelaki itu, bahkan melamar untuk jadi pekerja di tempat itu.Dia bercerita bahwa teater ini menghubungkannya dengan banyak kebersamaannya di masa kecil bersama almarhum ayahnya yang seringkali mengajaknya ke sini, juga dengan almarhum ibunya yang juga senang mendongeng. Awan sebetulnya melamar sebagai pendongeng, tapi setelah dites oleh Pak Gun, sesepuh Teater itu dan ternyata tidak layak. Tapi dengan segala alasan, dia tetap mendesak untuk diterima bekerja di tempat itu, sebagai apa saja. Dia bahkan bersedia tak mendapatkan gaji untuk itu. Katanya" Anggap saja bayaran saya adalah kenangan tentang ayah saya yang ada di tempat ini. Itu bayaran yang sangat mahal buat saya, more than enough"( halaman 61)